![]() |
| Oleh; Denni Hand. |
Demi keberlangsungan kehidupan yang layak, melakukan rekonstruksi pada infrastruktur yang mengalami dampak/kerusakan pasca bencana adalah hal yang penting.
Namun jika mitigasi bencana tersebut hanya terfokus pada perbaikan/rehabilitasi serta pembangunan kembali infrastruktur yang terdampak, dan tidak melakukan kajian serta rehabilitasi nyata pada objek sumber penyebab atau pemicu terjadinya sebuah bencana.., ini adalah sebuah kekeliruan yang tidak boleh terus berlanjut.
Dibeberapa kesempatan kita telah melakukan sebuah Mitigasi Bencana, sebagai rangkaian kegiatan/upaya untuk mengurangi risiko dan dampak bencana, baik sebelum, saat, maupun sesudah bencana itu terjadi.
Namun dalam menyikapinya, semua bencana tidak dapat dirumuskan dalam satu Mitigasi. Ada perbedaan dalam Mitigasi Bencana, seperti mitigasi bencana virus penyakit menular, mitigasi bencana gempa bumi, mitigasi bencana gunung api, mitigasi bencana banjir bandang dan lainnya.
Sebagai contoh pada mitigasi bencana gempa bumi. Kita telah merancang konstruksi-konstruksi ramah gempa, dan selanjutnya kita hanya bisa bertindak setelah gempa itu terjadi, karena secara teknologi, belum ada eksperimen secara sains, yang terbukti mampu mengatasi, menangkal atau mencegah terjadinya sebuah gempa.
Berbeda halnya dengan bencana banjir bandang, yang berEmbrio dari faktor cuaca (intensitas curah hujan), yang mana kondisi/struktur fisik alam sekitar menjadi penentu finalnya. Apakah embrio ini akan berkembang menjadi sebuah rahmat untuk keberlangsungan kehidupan, atau sebaliknya menjadi sebuah malapetaka.
Kesimpulannya, banjir bandang adalah sebuah bencana alam yang sesungguhnya dapat dinalar, dikendalikan, diredam atau diantisipasi agar tidak terjadi. Dan secara ilmiah, teoritis, dan objektif kita telah memahami hal ini sejak lama.
Mari Memulainya
Secara sains, penanganan banjir bandang berfokus pada pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), yang terintegrasi melalui upaya preventif, responsif, dan rehabilitatif.
Dan solusi utamanya melibatkan pendekatan hidrologi, geologi, dan ekologi untuk mengurangi volume dan kecepatan aliran air.
Dan Mitigasi Struktural dan Non-Struktural menjadi langkah utama dalam mengatasi banjir bandang, dengan cara;
- Rehabilitasi dan Konservasi Hutan (Reboisasi),
Mengembalikan fungsi hutan dan daerah tangkapan air sangat penting. Pohon dan vegetasi berfungsi sebagai penyerap air alami, mengurangi limpasan permukaan (run-off), dan mencegah erosi tanah yang menjadi material utama banjir bandang.
- Pengelolaan Tata Ruang yang Bijak,
Menerapkan perencanaan tata ruang berbasis risiko bencana. Melarang pembangunan perumahan di tepi sungai atau dataran retensi banjir. Identifikasi daerah rawan bencana berdasarkan kondisi geologi dan topografi adalah langkah awal yang esensial.
- Pembangunan Infrastruktur Pengendali Banjir,
Mencakup pembangunan bendungan (dam), tanggul, dan retensi basin (kolam penampungan) untuk mengontrol volume air yang mengalir ke hilir.
- Perbaikan Sistem Drainase,
Memastikan saluran air, selokan, dan sungai berfungsi dengan baik dan tidak tersumbat oleh sampah atau material lainnya.
- Teknik Irigasi dan Resapan Modern,
Menerapkan teknologi untuk memperbanyak lahan penyerapan air, seperti sumur resapan atau biopori.
Belajar pada Ruas Jalan Lembah Anai yang Habiskan hampir 500 M di 2024
Terputus dihantam banjir bandang pada 11 Mei 2024 silam. Tahun ini, 28 November 2025, ruas jalan Lembah Anai kembali mengalami kelumpuhan total (putus). Hal ini terjadi dengan motif /penyebab yang sama, yakni longsor dan gerusan air.
Sungguh kondisi yang memilukan, badan jalan yang terban saat ini adalah termasuk ruas yang sama, yang diperbaiki pada tahun 2024 silam. Dan rehabilitasi ruas jalan nasional yang menghubungkan Kota Padang - Bukittinggi via Lembah Anai ini menelan anggaran hampir mencapai 500 Miliar (TA 2024), sebagaimana diutarakan oleh Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah, (Minggu 25 Agustus 2024), saat proses penanganan dampak bencana tersebut masih dalam tahap pengerjaan.
Saat ini, ruas jalan tersebut tengah dilakukan penanganan darurat. Dan kita semua tidak tahu, apakah ditahun depan ruas jalan akan kembali lumpuh/putus, dengan penyebab yang sama..!.
Rp.500 Miliar bukanlah jumlah yang sedikit, dan itu hanya untuk ruas jalan Lembah Anai, belum lagi rehabilitasi jalan, jembatan, infrastruktur irigasi, air bersih dan rumah-rumah masyarakat dilokasi lain yang terdampak banjir bandang pada Mei 2024 tersebut.
Andai saja kita dulu melakukan rehabilitasi diwaktu yang bersamaan, melalui Mitigasi Struktural dan Non-Struktural pada alam, mungkin kondisinya tidak separah ini.
Korban Jiwa, Kerugian Permanen yang Tidak Bisa Direhabilitasi
Sementara itu, dari sisi sudut pandang lainnya, infrastruktur adalah kerugian secara finansial yang dapat dilakukan pergantian/rehabilitasi. Namun bagaimana dengan korban jiwa..?, ini kerugian permanen yang tidak dapat dilakukan pergantian/rehabilitasi.
Kita hanya bisa melihat, mengucapkan belasungkawa dan memajang karangan bunga, untuk ribuan wajah yang berlinang air mata menangisi anak, orang tua dan sanak-saudaranya yang tidak akan pernah kembali untuk selamanya (meninggal dunia).
Mari bersama-sama membuka hati dan mata. Haruskah bencana ini berulang tiap tahunnya..?.
"Atas nama kemanusiaan, mari perbaiki kesalahan masa lalu terhadap alam ini, dengan cara melakukan rehabilitasi besar-besaran. Karena bencana adalah pesan dari alam yang terzolimi".


Tidak ada komentar:
Posting Komentar