Lakukan Genosida, Dua Pemimpin Khmer Merah dijatuhi Hukuman Seumur Hidup - Go Asianews

Breaking


Sunday, November 18, 2018

Lakukan Genosida, Dua Pemimpin Khmer Merah dijatuhi Hukuman Seumur Hidup

Foto handout ini diambil dan dirilis oleh Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC) pada 16 November 2018, yang menunjukkan mantan Pemimpin Khmer Merah Nuon Chea duduk di pengadilan di ECCC di Phnom Penh. (Foto: AFP/Getty Images/Mark Peters)

Goasianews.com
Kamboja - Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.

Para pemimpin terakhir rezim Khmer Merah yang masih hidup yang memerintah Kamboja pada tahun 1970-an, dihukum pada Jumat (16/11) oleh pengadilan internasional atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Teror oleh rezim tersebut bertanggung jawab atas kematian sekitar 1,7 juta orang.

Dua pemimpin Khmer Merah di Kamboja, Nuon Chea dan Khieu Samphan, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada Jumat (16/11) atas genosida dan kejahatan kemanusiaan terhadap minoritas Vietnam dan Cham.

Nuon Chea dan Khieu Samphan adalah pemimpin teratas dalam rezim tersebut, yang memaksa penduduk keluar dari kota-kota ke pedesaan di mana mereka bekerja di bawah kondisi brutal, dalam koperasi pertanian raksasa dan proyek-proyek kerja.

Khmer Merah yang komunis berada di bawah kepemimpinan mendiang Pol Pot—berusaha menghilangkan semua jejak dari apa yang mereka lihat sebagai kehidupan borjuis yang korup, menghancurkan sebagian besar lembaga agama, keuangan, dan sosial.

Nuon Chea dan Khieu Samphan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan yang dibantu PBB, hukuman yang sama yang sudah mereka terima setelah dinyatakan bersalah dalam persidangan sebelumnya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, terkait dengan pemindahan paksa dan penghilangan massal. Kamboja tidak memiliki hukuman mati.

Nuon Chea (92 tahun), dianggap sebagai ideolog utama Khmer Merah dan tangan kanan Pol Pot, sementara Khieu Samphan (87 tahun), menjabat sebagai kepala negara, menyajikan tampilan yang moderat sebagai wajah publik untuk kelompok yang sangat rahasia tersebut.

Pembangkangan di bawah kekuasaan Khmer Merah biasanya dihadapi dengan kematian, dan bahkan para pendukung kelompok itu menghadapi penyiksaan dan eksekusi ketika eksperimen radikal pada revolusi gagal, dengan tuduhan yang dilemparkan kepada para jajarannya atas dugaan sabotase.

Tapi eksekusi itu hanya mencakup sebagian kecil dari jumlah korban tewas. Kelaparan, terlalu banyak pekerjaan, dan kelalaian medis merenggut lebih banyak nyawa, mencapai seperempat hingga sepertiga dari seluruh populasi. Baru ketika invasi oleh Vietnam akhirnya menyingkirkan Khmer Merah dari kekuasaan pada tahun 1979, pembantaian Kamboja terungkap.

Putusan pada Jumat (16/11), dibacakan oleh Hakim Nil Nonn, yang menetapkan bahwa Khmer Merah melakukan genosida terhadap minoritas Vietnam dan Cham. Para akademisi telah memperdebatkan apakah penindasan terhadap Cham—minoritas etnis Muslim yang anggotanya telah melakukan perlawanan kecil tetapi sia-sia dalam melawan Khmer Merah—adalah genosida.

Dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut mencakup kegiatan di kamp-kamp kerja dan koperasi yang didirikan oleh Khmer Merah. Kejahatan itu termasuk pembunuhan, pemusnahan, deportasi, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, penganiayaan atas dasar politik, agama, dan rasial, serangan terhadap martabat manusia, penghilangan paksa, pemindahan paksa, kawin paksa, dan pemerkosaan.

Pelanggaran Konvensi Jenewa yang mengatur kejahatan perang, mencakup pembunuhan yang disengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi.

Pengadilan tersebut yang secara resmi disebut Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia, atau ECCC—juga memerintahkan reparasi bagi beberapa dari mereka yang dinilai sebagai korban.

Pengadilan itu menemukan bahwa Khieu Samphan tidak bersalah melakukan genosida terhadap Cham karena tidak cukup bukti, meskipun ia dihukum karena genosida terhadap Vietnam di bawah prinsip upaya kriminal bersama, yang mengharuskan mereka bertanggung jawab atas tindakan yang dikaitkan dengan kelompok di mana mereka berasal.

Pengacara Nuon Chea mengatakan bahwa mereka akan mengajukan banding, dan Khieu Samphan diperkirakan akan melakukan hal yang sama. Kedua pria itu mengatakan bahwa mereka menjadi sasaran penganiayaan politik.

Dikutib dari BBC News, bahwa keputusasaan umum bagi para korban adalah bahwa anggota Khmer Merah dari tingkat yang lebih rendah tidak pernah menghadapi keadilan atas tuduhan kejahatan mereka. Pelaku dan korban sering tinggal berdampingan.

Soy Sen mengatakan bahwa dia dipenjara dan disiksa, berkomentar tentang putusan hari Jumat (16/11): “Ini tidak akan menyembuhkan luka dalam yang mereka berikan kepada kami.”

Terdapat pula kekhawatiran bahwa politik akan menghalangi pengadilan dari melakukan penuntutan lebih lanjut. Perdana Menteri Kamboja yang telah lama menjabat, Hun Sen, telah menyatakan bahwa ia tidak akan mengizinkan kasus-kasus untuk diproses lebih lanjut, dengan mengatakan bahwa itu akan menyebabkan ketidak stabilan.

Hun Sen adalah seorang komandan Khmer Merah yang membelot ketika kelompok itu berkuasa, dan ditempatkan di pemerintahan setelah Khmer Merah digulingkan oleh invasi Vietnam.

Pekerjaan awal telah dilakukan pada dua kasus lagi yang melibatkan empat anggota tingkat menengah Khmer Merah, tetapi kasus-kasus itu telah dibatalkan atau ditahan oleh pengadilan tersebut—yang merupakan pengadilan hibrida di mana para jaksa dan hakim Kamboja dipasangkan dengan rekan-rekan internasional.

Kegagalan untuk mencapai keadilan yang lebih luas telah menyulitkan beberapa pengamat.

“Keputusan hari ini semoga membawa beberapa keadilan bagi para korban, 40 tahun setelah kekejaman berat yang tak terungkap yang dilakukan oleh Khmer Merah di Kamboja,” kata Nicholas Bequelin, Direktur Regional Amnesty International untuk Asia Timur dan Tenggara.

“Walau persidangan kedua dari para pemimpin senior terakhir Khmer Merah ini menghasilkan dua dakwaan, dan 14 proyek reparasi, namun ini adalah keadilan yang pahit: dunia telah menunggu terlalu lama untuk saat ini. Berpuluh-puluh tahun setelah kejahatan tersebut, dan 13 tahun setelah itu didirikan, ECCC seharusnya mencapai lebih banyak lagi.”

Yang lain, bagaimanapun, menyoroti pencapaian pengadilan tersebut.

“Pengadilan internasional lebih baik daripada pilihan lainnya, kekebalan hukum. Mereka akan selalu politis dan gagal memenuhi harapan,” Alexander Hinton, seorang profesor antropologi di Rutgers University dan penulis dua buku tentang pengadilan, mengatakan menjelang vonis pada Jumat (16/11). “Tapi keadilan biasanya tercapai, bahkan walau kadang-kadang—seperti yang terjadi dengan ECCC—itu terhuyung-huyung menuju garis akhir.”

# deni / CBS/AP/ BBCnews

No comments:

Post a Comment

Selamat datang di www.goasianews.com, Terima kasih telah berkunjung.. Semoga anda senang! Tertanda Pemred:
-->